Minggu, 11 Oktober 2015

Ze Tian Ji (Way of Choices) by Mao Ni

Synopsis

In a world full of might and magic, gods and demons, and stars birthing powers strength is the only thing you need to go against fate. As the human and the race of Yao ­–beastman with great physical strength– wrought war against the demons for hundreds of years, what significance does a man have only depends on his will.
At the beginning of time, a mystical meteor came crashing down from space and its pieces scattered around the world. A piece, filled with mysterious totems carved into it, landed in the Eastern Continent. The people gathered and studied the carvings. They discovered The Way and established The Tradition.
This is a story about choices, picked by Chen Chang Sheng, a young orphan scholar born thousand years after the fall of the meteor. Chen Chang Sheng left his master and his serene hometown to cure his illness and change his fate. He brought a marriage vow with him to the capital, thus began the journey of the rising hero. 

Review – What I read this week

Way of Choices is not exactly a book or novel as it’s much more known as a webnovel, a keyword known and used increasingly in the last few years. It is written under the genre of Xianxia or in English we describe it as Martial Fantasy which include other famous titles such as Stellar Transformation, Martial God Asura, Tales of Demons and Gods and much more. This webnovel is now being translated to english by a dedicated fan. Currently it has 98 chapters of translation and is still ongoing.
Way of Choices tells about the story of a 14-years old orphan scholar name Chen Chan Sheng (further we will shorten his name as CCS) as he was trying to find a way to cure his fatal illness, which will kill him when he is 20-years old. It begins with CCS goes to the Royal Capital of Zhou, first to return the marriage vow and later to enter an academy of martial cultivation. The marriage vow was given to his master as a reward for curing an illness that inflicted a powerful army general. It offered a marriage between the general’s granddaughter and one student of CCS’s master, which turned out to be CCS.
The meeting between the general’s family and CCS didn’t go well however. They think it’s absurd for CCS to marry their family’s young lady Xu You Rong (XYR) as she has Phoenix Bloodline flowing in her vein (practically makes her a genius martial cultivator) while CCS is no one, nothing. Their attitude made CCS took back his intention as to give them a lesson. Little did he know that such decision would make his life harder.
Next, CCS trying to fulfill his other purpose, to enter a martial cultivation academy. He tried to enter 5 of the 6 most famous academy. Somehow or another his admission is always denied, even after he scores well in all their test. He knows, the general’s family must have done this. Fortunately or unfortunately, he managed to enter the last academy. However, never did he imagine that the Tradition Academy has been closed for years and he is now the only student, teacher and staff of the aforementioned academy. One good thing though, on his trials to win the right to enter martial cultivation academies he met Tang Thirty-Six and Xuan Yuan Po, both will be fellow students in the same academy. That is however is for later story.

Review – The Good, The bad, and the… quote?

Way of choices is not like other webnovel in the same genre. Most webnovel have main characters who are: handsome, lucky, talented but hardworking in the sense of Martial Cultivation. In the first 20-30 chapters or so, most main characters have started their martial cultivation and most likely will have killed some enemies. Most main characters have the same purpose: they want to get stronger because they want to be the strongest person in the world. The differences are only in why they want that, and how they get their super quick and super strong cultivation technique. Way of choices are not the same. CCS as the main character started weakly, and after 40 chapters he’s still weak. You will find that he’s probably the most bullied but likable main character in the Xianxia genre.
It’s a fresh change from the usual xianxia stories. He mainly solves his problem with his mind, his words, his luck and his unexpected social connection. There are so many fun moments when CCS’s comments, feedbacks and words makes the opponent speechless.
The writing style of the author is also amazing. It describes things, places, weathers and events in subtly exaggerated way like how chinese classic literatures is. It’s difficult to portray this style of writing in english translation, but I think the translator does a good job with this one. Also like CCS’s fun comments, the author also has his fun moment. I don’t want to spoil.
Now the bad. The pace is very slow. Probably the slowest one I’ve ever read. This can be particularly boring and make you feel you have enough of this. One thing that my fellow readers have been waiting is CCS begin his martial practice, which after 90 chapters has not been done yet.
One feeling that you may get while reading this is “what? How come does that come to be”. There are a lot of deus ex machina used in the progress of the story. It makes you wonder whether the author properly builds the story, or does he just write as he goes. That may be blamed by the fact that usually webnovel are continuous, like serial comic. The author will upload and update a new chapter weekly, or even daily.
Overall, Way of Choices is a good read for those who like genre. It’s necessary to be patient while following the progress of the story however this can be ignored by CCS awesomely fun words. It isn’t recommended now though as the translation has been going slow. Better let it accumulate a lot of chapter first.

Lastly,
 “Perhaps it’s because I have a good heart.”
­–Chen Chang Sheng, when asked why the first princess of Yao race wanted to be his apprentice.

p.s. actually I read further than that, but I don’t want to write it now.

Selasa, 28 Februari 2012

Dan tidak disangka..

Apa yang membuat anda paling terkejut selama anda hidup di dunia selama ini? Bagi saya itu kematian orang yang saya kenal, atau kurang lebih teman saya, yang baru terjadi kemarin saja.

Baru kemarin, ketika saya membuka akun facebook saya, ketika saya baru akan menjawab salah satu pos di dinding saya, berita itu muncul di news feed, di halaman beranda. Ketika itu saya belum memperhatikan, dan saya dengan santainya menjawab chat teman saya di chat grup. Saya bertanya, "Jek dho urip ra cah?". Pertanyaan itu kadang saya lontarkan sebagai candaan, karena saya bosan bertanya bagaimana kabarnya. Memang ketika itu teman saya yang online di chat grup cuma ada 4 atau 5 tapi saya melontarkan pertanyaan itu dengan keyakinan bahwa semua teman saya di grup itu masih mempunyai kemampuan menjawabnya, yang online  maupun yang offline. Salah satu teman saya menjawab "Masih hidup semangat!" dan jari-jari saya mulai menekan tombol di keyboard, ketika saya membaca post itu. 

Pos di beranda itu diawali dengan "Innalillahi wa innalillahi roji'un." Jari saya berhenti, tapi tidak panik atau pun kaget. Saya juga tidak merasa sedih ataupun perasaan lain. Saya merasa biasa saja, hanya bertanya dalam hati, "Wah, keluargane sapa iki sing seda?" Saya hanya berpikir seperti itu. Baru ketika membaca baris kedua di pos itu, dan baris selanjutnya, saya kaget dan lemas. Yang tertulis di situ adalah nama salah seorang teman saya, nama mantan teman sekamar saya, nama teman saya yang pendiam, baik, rajin (beribadah maupun belajar), nama salah seorang teman yang saya habiskan tiga tahun hidup bersama. 

Kalau saya bilang saya sedih, mungkin itu bohong. Lebih banyak rasa kaget, walaupun saya langsung percaya. Kematian tidak pernah terasa sedekat ini. Ketika kakek saya meninggal, beliau meninggal ketika menunaikan ibadah haji, saya masih bocah berumur 5 tahun, belum paham apa-apa. Ketika paman saya meninggal karen sebuah kecelakaan, saya masih berumur 7 atau 8 tahun. Ketika jenazahnya di depan saya, saya masih tidak merasakan apa-apa. Namun kali ini, saya sudah 18 tahun, sudah tahu apa artinya mati, dan kali ini saya merasakan dekatnya kematian, apa yang kematian tinggalkan, dan apa yang kematian berikan. Kesedihan? Jelas. Semati-matinya hati saya, beruntung saya masih bisa merasa sedih. Tapi mungkin yang lebih saya rasakan adalah takut. Takut mati. Saya takut mati. Saya takut mati, saya takut meninggalkan dunia. Saya takut.

Atau tidak?

Saya yakin saya merasa takut. Tapi setelah itu pun saya masih bisa tersenyum, masih bisa tertawa. Padahal belum ada satu hari ketika berita kematian Achmad Fajar sampai di telinga saya. Saya jadi ragu, apa benar saya sedih? Apa benar saya takut? Apa saya tidak peduli dengan kematiannya? Apa saya tidak mencintai saudara dan teman saya? Lalu Achmad Fajar saya anggap apa?

Pemikiran ini membuat saya lebih jijik pada diri saya. Matikah hati saya?

Rabu, 15 Februari 2012

Tomorrow never die?

Sebuah judul film dari seri film James Bond, tapi tanpa tanda tanya. Dalam Bahasa Indonesia, artinya secara terjemahan kasar mungkin Esok Tak Pernah Mati. Nah, bagi kita penganut agama yang mengajarkan tentang kiamat tentu tidak setuju dengan judul film tersebut, karena suatu hari pasti esok akan mati. Ketika kiamat datang, dunia jungkir balik diacak-acak, dan pada akhirnya makhluk tuhan yang bernama waktu mungkin akan mati. Yang kuyakini sekarang, adalah besoknya milik hari ini (28 Januari 2012) masih hidup, karena aku sebagai penganut agama islam tahu, kalau kiamat akan dating pada hari Jumat, dan itu artinya sekurang-kurangnya kiamat akan datang minggu depan. Dan karena kita berhasil melalui Jumat minggu ini tanpa adanya kiamat, aku ingin menulis apa yang kulalui seminggu ini.
Sedikit intermezzo sebelum masuk kisah yang ingin kuceritakan. Kubilang kisah, walaupun memang kurang menarik aku yakin. Tentang perjalanan keduaku di Turki, perjalanan kedua ke luar kota.
Seminggu sebelumnya, tanggal 21 Januari 2012 (21-01-2012, nomor cantikkah?) Aku pertama kali bangun dari tempat tidur di sebuah asrama di kota Kayseri, sebuah kota terletak di lingkungan pegunungan Erciyes (baca: erjiyes). Kubilang di lingkungan pegunungan Erciyes, karena aku tidak yakin apakah Kayseri terletak di kaki gunung atau di lembahnya atau di lereng gunungnya. Hari sebelumnya, aku dibawa dengan setengah paksa oleh teman serumah untuk mengikuti program reading camp. Program reading camp seperti namanya adalah sebuah program camping, tapi tanpa tenda, api unggun, hutan atau semacamnya, dan isi kegiatannya adalah membaca buku pada pokoknya. Berangkat dari kota Gaziantep pukul 6 sore, aku dan rombongan sampai di kayseri tepatnya pukul 01.28 . Salju yang menumpuk menyambut hangat kami dengan hawa dingin yang menusuk. Setelah melaksanakan kewajiban ibadah, langsung aku menyambut kasur dan selimutnya dalam pelukan.
Pengalaman reading camp semasa SMA membuatku paham bahwa reading camp adalah sebuah program yang mempunyai level kebosanan yang luar biasa, tapi masih dalam taraf batas yang bisa diterima, minimal olehku. Namun ternyata, reading camp kali ini, jauh, jauh, lebih membosankan. Sewaktu SMA minimal kami (aku dan siswa lain) diperbolehkan memiliki hiburan, contohnya menonton film atau olahraga tersendiri. Namun, kegiatan di malam hari pada camp kali ini adalah mendengarkan ceramah dari salah satu ulama panutan orang turki, Fethullah Gülen. Sebenarnya oke-oke saja kalau aku disuruh ikut mendengarkan, tapi yang membuatku heran adalah aku tetap dipaksa ikut mendengarkan walaupun sudah jelas dengan kemampuan bahasa turkiku, aku tidak akan paham apa yang beliau bicarakan. Dan alhasil, aku melewati sesi itu dengan kebosanan yang luar biasa.
Solusi yang kuambil adalah, Kabur. Cukup itu saja. Kabur dari ruangan itu, dan sembunyi di kamar. Setelah video ceramah dimulai, tidak ada seorang pun yang akan keluar sampai video tersebut selesai (tentu saja pengecualian untuk yang berkebutuhan ke toilet). Aku tahu sikapku terlihat payah sekali, trik pengecut boleh dibilang, tapi biarlah, daripada bosan diam di ruangan tanpa melakukan apa-apa. Dan satu hal, aku memang seorang pengecut.
Program camp berjalan sama setiap hari, isinya, baca buku, bersalawat, menghapal surat-surat pendek dan mendengarkan (atau menonton?) ceramah, sampai hari rabu ketika program berakhir. Hari kamisnya, aku dan teman-temanku diajak untuk berski. Aku (tidak) semangat, kenapa? Karena aku tidak bisa ber-ski. Alternatifnya adalah bermain salju, tapi aku juga tidak tertarik. Dan Alhamdulillah, tubuhku mendukung. Secara tiba-tiba setelah sarapan, perutku sakit luar biasa. Dengan alas an itu aku menghindari ajakan teman untuk berangkat ke area ski. Keras kepalanya mereka, mereka tetap memaksaku ikut. Kubilang perutku sakit, mereka bilang ya udah nanti tunggu saja di bus. Kutanya balik, dengan nada yang agak keras, “Ne yapacağım otobüste?” yang berarti, Aku mau ngapain di bus? Efektif sepertinya, karena mereka segera berhenti mengajakku. Hari itu kuhabiskan untuk tidur atau nonton film sambil tiduran, kehidupan seorang pemalas.
Cukup itulah yang ingin kuceritakan tentang sepekan ini. Sebenarnya masih berlanjut, namun kuyakin bakal membosankan. Au Revoir!

Senin, 16 Januari 2012

New Tales: about Grave of the Firelies

Mari kita ubah lagi cara kita berbicara. Sebelumnya saya menggunakan "saya" namun sepertinya gaya formal bukan poin lebih untuk saya. Jadi, mari berubah gaya bicara.

Aku yakin para pembaca tahu, media yang bernama film. Benarkah itu media? Atau hanya alternatif penghibur saja? Pertanyaan aneh seperti itu tidak perlu kita bahas. Aku cuma ingin bercerita tentang film favorit yang baru-baru ini kutonton. Pembaca bolehlah menjadikannya rujukan untuk jadi bahan tontonan.

Minggu lalu harusnya kuhabiskan untuk belajar, untuk persiapan ujian (ujian komite namanya). Aku yang merupakan mahasiswa kedokteran, harusnya belajar untuk persiapan ujian ini. Namun disayang, sifat malasku, plin-planku, dan pemalasku (kusebut dua kali karena memang parah levelnya) mencegah aku untuk membuka buku elektronik yang ada di komputer jinjingku. Aku memang tidak punya satu buku bacaan dalam kertas yang membahas kedokteran dan/atau kerabatnya. Semua buku ada di komputer jinjingku. Mengisi kekosongan akibat kemalasanku itu, aku membuka folder-folder film. Aku lupa, di situ ada beberapa film yang kuunduh tapi belum kutonton. Aku memilah-milih folder-folder yang ada. Kuputuskan untuk membuka satu folder berisi film lama, film animasi Jepang produksi tahun 1988. Jangan tanya kenapa film Jepang, aku memang suka kartun dan animenya.

Film dalam folder itu berjudul Grave of the Fireflies, atau dalam bahasa Indonesia, 'Makam Kunang-Kunang'. Judulnya aneh menurutku. Aku juga sudah lupa alasan mengapa aku dulu mengunduh film ini. Kubuka file-nya dengan Windows Media Player Classic. Filmnya mulai berputar, dan di awalnya seorang terlihat seorang anak laki-laki lusuh dan kotor, duduk bersandar di sebuah stasiun kereta. Kurang tepat kalau disebut bersandar sebenarnya, karena badan anak itu tertelungkup ke depan, dengan kakinya melunjur ke depan. Dari belakang anak itu, muncul anak yang sama, pikirannya tersuarakan, "I died on 21 September 1945." Dari awal film yang aku tidak paham maksudnya, aku meng-forward filmnya beberapa kali. Karena masih tidak paham kucoba mengulang dari awal film tersebut.

Aku ingin bercerita tentang kisahnya, tapi kemampuanku untuk mengutarakannya tidak cukup. Film ini menceritakan perjuangan seorang anak "Seita" dan adiknya "Setsuko" dalam melewati kehidupan sehabis perang. Dua anak yang menjadi korban perang ini tidak mampu mengandalkan kerabatnya untuk bertahan hidup. Nantinya, mereka berjuang dengan tangan mereka sendiri. Hal yang dapat kita lihat dari film ini adalah betapa cintanya Seita terhadap adiknya. Berbagai hal ia lakukan, dari menjual barang-barang ibunya yang sangat ia cinta, bahkan sampai mencuri, hanya untuk bertahan hidup, hanya untuk adiknya.

Akhir film inilah yang membuatku menangis, benar-benar menangis. Aku paham bahwa diriku sendiri bukan tipe orang yang gampang tersentuh, bukan orang yang peduli terhadap orang lain. Tapi setelah menonton film ini, aku menangis, menangis melihat cinta Seita terhadap adiknya, menangis melihat perjuangan mereka, menangis melihat nasib tragis mereka. Seketika aku merasa rindu pada adik-adikku. Aku ngeri membayangkan ketika mereka tiba-tiba tertimpa musibah, sedang aku tidak mampu berada bersama mereka.

Para pembaca, aku yakin kalian bisa menebak jalan cerita film ini, tapi percayalah, film ini akan memberi hantaman pada kalian. Aku yakin minimal dari kalian akan meneteskan air mata, jika kalian tidak menangis tersedu-sedu.

Cukuplah posting kali ini. Aku menangis lagi, haha.

Nice to meet You!

Setelah sekian lama blog saya terlupa, kini kembalilah niat baik saya.

Anda yang pernah membaca post pertama saya mungkin tahu, alasan saya memulai blog ini. Namun sayangnya, ke-tidak-konsisten-an saya adalah penyakit yang susah dihilangkan. Anda bisa lihat, betapa sedikit post saya, dan betapa besar selisih periode antara satu pos dan yang lain.Sifat saya yang plin-plan, dan tidak tegas, adalah alasan terbesar saya jarang menulis di blog ini. Sewaktu pertama kali menulis blog, saya punya tekad yang besar. Namun setelah itu, muncul berbagai hal yang mengalihkan perhatian saya, yang mencegah saya untuk punya pikiran yang pantas untuk ditulis di blog ini.

Alasan kedua, adalah karena saya adalah orang yang malas dalam berbagai hal. Kemalasan saya yang paling parah adalah saya tipe orang yang malas berpikir. Hal-hal kompleks dan ribet adalah yang saya benci, ranking ketiga setelah orang sombong dan saya sendiri. Saya mungkin cepat paham dalam belajar, tapi saya juga cepat melupakannya. Saya tidak menggunakan secara efektif kemampuan pemahaman saya, dan akibatnya pemahaman saya dapatkan cuma terekam secara sekejap. Saya susah mengingat kejadian-kejadian sehari-hari yang harusnya menjadi memori yang susah dilupakan. Pernah saya ditanya oleh salah satu teman saya sewaktu SMP, "Kamal, kamu inget pertandingan bola waktu kita kelas 8 nggak? Waktu Class Meeting. Pas kamu ikut main, posisi defense." Saya jujur tidak ingat sama sekali tentang apa yang dia bicarakan. Tapi kalau saya jawab saya tidak ingat, maka pertemuan saya dengan teman lama itu akan jadi sangat canggung, karena kami sendiri memang bukan teman dekat sewaktu SMP, kalau itu bukan pikiran saya sendiri.

Post kali ini merupakan post pertama yang saya tulis dan terbitkan, dengan posisi saya sedang berada di turki. Saya paham kalau pernyataan saya kurang relevan, karena pernyataan seperti itu lebih cocok digunakan oleh mereka, atau salah satu dari kalian, yang sering menerbitkan postnya. Mereka yang membuat post menjadi hobi seminggu sekali.

Yah, beginilah postingan ini. Cukup untuk sementara. Sekali lagi...

Enjoy your reading!

Sabtu, 27 November 2010

Ujian Akhir Semester, tantangan yang baru

29 Desember 2010

Pekan Ujian Akhir Semester mata pelajaran ilmu sosial dimulai.Ujian ini harusnya bukan momen yang menjadi penting untuk kami anak-anak SMA Negeri Sragen Bilingual Boarding School. Bukannya tidak penting, hanya saja biasanya suasana ujian tidak begitu terlihat di sekolah kami.Namun, ujian semester kali ini menjadi berbeda. Pasalnya, pada pagi hari kami masih melaksanakan kegiatan belajar mengajar,sedang ujian akan dilaksanakan sore hari. Reaksi umum dari kami "jyahh, wagu tenan." tapi ada juga yang bereaksi "okelah, aneh-aneh ngene malah asik." Semuanya memikirkan strategi untuk menghadapi ujian ini. Bukan belajar yang dimaksud, melainkan bagaimana mereka bisa mendapat waktu untuk istirahat, karena biasanya sore harilah yang mereka gunakan.

Kekonyolan juga bakal terjadi pada UAS kali ini.Status sekolah kami yang adalah sekolah hasil kerjasama antara PASIAD dengan pemerintah Kabupaten Sragen memberi kami sebuah rejeki nomplok yang merepotkan. Kami, para siswa SBBS (maksudnya cuma saya sendiri) menyebutnya "DOUBLE CATASTROPHE EXAM" (unsur-unsur ke-lebay-an sangat diunggulkan) atau dalam Bahasa Indonesia disebut Ujian Bencana Ganda. Pada minggu ke-2 dari rentetan ujian akhir semester kami, biasanya kami hanya mendapatkan soal dari pasiad pusat untuk dikerjakan sebagai ujian akhir. Soal-soal dari pasiad bisa kami kerjakan dan pahami karena materi dan kurikulum pendidikan yang sama. Namun, pada UAS kali ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen dengan berbaik hati memberi kami kesempatan untuk mengerjakan soal-soal ujian dari dinas. Alasan yang diberikan sungguh membebani. Dinas ingin menguji kualitas sekolah kami yang saat ini menjadi unggulan dari kabupaten, karena catatan prestasi kami yang cukup banyak, biarpun sekolah kami masih berumur balita. Dinas ingin mengetahui, apakah seluruh siswa SMAN SBBS memang berkualitas, atau hanya beberapa muridnya?

Mengapa ini menjadi bencana bagi kami? Alasannya sederhana, materi dan kurikulum pendidikan dari dinas, berbeda dengan materi dan kurikulum dari pasiad. Banyak materi dari dinas yang belum kami pelajari, walaupun ada juga materi dinas yang belum diajarkan namun kami sudah mempelajarinya. Perbedaan materi ini menuntut kami belajar materi lebih banyak dan lebih cepat, karena kami harus menghadapi dua jenis ujian. Kegiatan belajar mengajar menjadi ekspres. Para guru memberi kami pr lebih banyak. Kami menjadi lebih serius belajar saat jam belajar mandiri kami. Kami ingin membuktikan kualitas kami (walaupun susahhh sekali).

Berdoa saja, supaya kami dapat mengalahkan mereka yang ingin menjatuhkan kami. Semoga kami bisa melaksanakan ujian ini dengan baik.

Satu lagi, biarpun ujian ini bakal berat, tetap saja suasana ujian tidak begitu terasa. Payah.

Minggu, 29 Agustus 2010

Jatuh dan Bangun

Bangun...
itulah awal kehidupan kita. Saat daging dan darah kita keluar dari rahim ibu, kita menangis. Pada saat itu kita terbangun, walau mata kita masih susah melihat cahaya. Kita dalam keadaan bangun, karena kita mendengar dan kita bersuara.
Hidup tak selalu mulus jalannya. Perlu ada suatu cara, supaya manusia bertambah ilmunya dalam melalui jalan tersebut, supaya manusia sukses dalam memilih jalur yang tepat dan tidak sesat.Lalu bagaimana caranya? agama, akal, ilmu, dan hati, cukuplah 4 hal itu menjadi peta dalam mengarungi kehidupan atau bahkan itulah peta yang paling lengkap, dengan legenda-legenda dan simbol-simbol peta yang rumit tapi jelas menerangkan lokasi serta jalan.
Kadang, yang mencegah kita untuk menelusuri jalan yang tepat, bukan hanya liku, belokan, atau tanda yang menyesatkan.Lubang dan kerikil sering membuat kita jatuh. Awalnya mungkin hanya lubang seloncat, dengan kedalaman 6 sentimeter. Dan kerikilnya mungkin hanya kerikil sisa aspal jalan yang tidak rata. Kedua hal kecil itu membuat kita jatuh. Rasanya kok tidak keren sekali, jatuh gara-gara lubang dan kerikil yang bisa diabaikan. Namun, Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk umatnya.

"Kita jatuh, supaya kita tahu cara untuk bangkit. Jatuh karena rintangan kecil, supaya kita tahu cara bangkit dari jatuh akibat rintangan besar."

Lebih susah memang, tapi tujuan Allah men"jatuh"kan kita adalah melatih jiwa kita. Siapa tahu?

Saya yakin tulisan ini kurang bermakna bagi Anda yang tidak pernah jatuh. Yah, sekedar menjadi pengingat saja, bagi orang-orang yang jatuhnya lebih keras akibat halangan yang luar biasa. Jalan untuk mencapai Tujuan Besar, tidaklah mudah. Tidak seperti dari kamar ke kamar mandi.Semakin agung tujuannya, semakin susahlah jalur menujunya dan semakin tertempalah orang yang melaluinya.

Semoga kita, yang diberi cobaan yang luar biasa pernah merasa jatuh, sehingga kita tahu cara untuk bangkit, dan meneruskan perjalanan dengan peta terlengkap dalam genggaman.